Editorial: RS Onkologi Bojonegoro—Janji Publik yang Tersandera Ketidakjelasan

Opini1 Dilihat
banner 468x60

Redaksi

Di atas kertas, Rumah Sakit Onkologi Bojonegoro (RSOB) adalah proyek impian. Ia digagas sebagai jawaban atas kebutuhan layanan kanker yang selama ini menyiksa pasien dan keluarga karena harus berobat ke luar daerah. Tapi di dunia nyata, impian itu terjerembap dalam kebuntuan—menjadi bangunan yang sunyi dan proyek yang kehilangan arah.

Sejak awal digulirkan pada 2023, proyek RSOB menyedot perhatian karena membawa embel-embel “khusus kanker”—sebuah langkah langka di tingkat kabupaten. Sayangnya, yang hadir bukan pelayanan, melainkan stagnasi dan kegamangan.

Dana Rakyat Mengalir, Pelayanan Tak Kunjung Hadir

Proyek RSOB telah menelan sekitar Rp19 miliar dari APBD Bojonegoro, namun hingga pertengahan 2025, tak satu pun layanan medis di dalamnya berfungsi.

Menurut Radar Bojonegoro (7 Juli 2025), pembangunan hanya sebatas renovasi ruang, tanpa ada kelanjutan karena tidak ada anggaran tambahan tahun ini. Kepala Dinas Kesehatan Bojonegoro, bahkan menyebut bahwa kegiatan fisik sudah berhenti.

“Pembangunan hanya sebatas pembenahan ruang karena tahun ini tidak dianggarkan lagi.”

— Radar Bojonegoro, 7 Juli 2025

Yang lebih memprihatinkan, proses pengawasan proyek juga disorot publik. Konsultan pengawas PT Duta Bhuana Jaya mendapat kontrak senilai Rp196 juta, tapi progres proyek justru tersendat. Kritik pun bermunculan.

“Mereka mendapatkan alokasi pengawasan cukup besar, namun faktanya proyek mandek.”

— Kalsel.Pikiran-Rakyat.com, 28 Maret 2025

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sebelumnya menyebut RSOB akan memperkuat layanan kemoterapi lokal dan mengurangi beban rujukan ke Surabaya. Bahkan dalam liputan Radar Bojonegoro (30 Oktober 2024), disebut bahwa RSOB akan mendorong peningkatan angka harapan hidup, yang kini sudah mencapai 74,18 tahun—lebih tinggi dari rata-rata provinsi.

Tapi kenyataannya, hingga 2025, warga masih harus menempuh perjalanan jauh untuk terapi kanker. Bangunan megah yang disebut-sebut sebagai rumah sakit onkologi itu tak lebih dari dinding yang dicat ulang.

Yang membuat publik kecewa bukan semata karena bangunannya belum rampung, tapi karena tidak ada kejelasan ke mana arah proyek ini sebenarnya. Dari laporan Suara Banyuurip (20 Maret 2023), kita tahu bahwa sejak awal proyek ini menyedot pagu hingga Rp15 miliar. Kemudian ditambah lagi dengan tahap kedua senilai Rp18,8 miliar, sebagaimana dilaporkan oleh Batara.News (20 Maret 2025).

Namun memasuki 2025, Pemkab tidak menganggarkan satu rupiah pun untuk kelanjutan proyek, padahal pembangunan belum selesai. Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini proyek strategis jangka panjang, atau sekadar proyek penghabisan anggaran?

Bagi masyarakat Bojonegoro, proyek RSOB tak ubahnya cermin dari tata kelola anggaran yang goyah. Mimpi besar yang tidak didampingi ketegasan eksekusi dan konsistensi politik akan jatuh menjadi simbol kegagalan pemerintahan. Ketika rakyat menunggu pelayanan, yang mereka dapatkan hanya kebingungan dan janji tak tuntas.

RSOB seharusnya menjadi tonggak kemajuan layanan kanker di tingkat kabupaten. Tapi kini, tanpa kejelasan, ia hanya berdiri sebagai monumen APBD yang sunyi dan tidak berguna.

Jika pemerintah tidak segera bersikap tegas, maka RS Onkologi Bojonegoro akan dikenang bukan karena manfaatnya, melainkan karena ketidakberdayaan pengelolanya dalam mengubah mimpi menjadi kenyataan.

 

Sumber dan Referensi:

Radar Bojonegoro, 7 Juli 2025 – “Pembangunan RS Onkologi Macet”

Radar Bojonegoro, 30 Oktober 2024 – “RSOB dan Harapan Hidup Warga”

Suara Banyuurip, 20 Maret 2023 – “RS Kanker Masuki Tahap Lelang”

Batara.News, 20 Maret 2025 – “Pekerjaan RSOB Tak Sesuai Target”

Pikiran Rakyat Kalsel, 2

8 Maret 2025 – “Konsultan Pengawas Dipertanyakan”

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *