NewsBojonegoro.com – Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro bersama DPRD untuk menetapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menuai respons beragam dari peserta Focus Group Discussion (FGD) yang digelar pada Kamis, 6 November 2025, di Hotel & Resto Griya MCM Bojonegoro.
Salah satu sorotan tajam datang dari Ketua Koperasi Kareb, H. Sutrisno, S.H., yang mengingatkan pemerintah agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan efek domino terhadap ribuan tenaga kerja di sektor tembakau dan usaha kecil menengah (UMKM).
“Jangan Matikan Ribuan Tenaga Kerja di Sektor Tembakau,” terangnya
Menurutnya, Koperasi Kareb menaungi 7.000 pekerja, termasuk 2.500 di MPS Kapas dan 3.000 di anak usaha PT Karb Alam Sejahtera. Koperasi tersebut, lanjutnya, tidak hanya menjadi wadah pembinaan tenaga kerja sejak 1970-an, tetapi juga penyumbang pajak dan pendapatan daerah yang signifikan, terutama dari sektor cukai hasil tembakau.
“Koperasi kami sudah berpuluh tahun berjalan dan ikut menopang ekonomi Bojonegoro. Tapi jika kebijakan KTR diterapkan tanpa mempertimbangkan sektor usaha, maka produksi bisa menurun dan ribuan orang akan kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai bahwa budaya masyarakat Bojonegoro yang lekat dengan aktivitas ngopi dan merokok harus dipahami sebagai bagian dari kehidupan sosial dan ekonomi lokal. Banyak warung kopi dan pelaku UMKM yang menggantungkan pendapatannya dari aktivitas tersebut.
“Bagi kami, rokok bukan sekadar produk, tapi rantai ekonomi. Dari petani tembakau sampai penjual kopi di warung, semuanya terhubung,” imbuhnya.
Menanggapi kekhawatiran itu, Kepala Dinas Kesehatan Bojonegoro, Ninik Susmiati, menjelaskan bahwa penyusunan Raperda KTR merupakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mewajibkan pemerintah daerah untuk menjamin lingkungan sehat bagi masyarakat.
“Kawasan Tanpa Rokok bukan berarti pelarangan mutlak. Prinsipnya adalah penataan ruang — rokok boleh, tapi harus di tempat yang semestinya agar tidak mengganggu hak orang lain untuk hidup sehat,” ujarnya.
Ninik menegaskan, pemerintah daerah tidak bermaksud menutup ruang ekonomi masyarakat, tetapi berupaya menata perilaku hidup sehat tanpa mengorbankan keseimbangan sosial.
“Kami juga memahami kontribusi industri tembakau terhadap perekonomian daerah. Karena itu, Perda ini akan diatur secara proporsional, agar pelaku usaha dan masyarakat tidak dirugikan,” tambahnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR DPRD Bojonegoro, Sudiono, S.H., menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan publik dan keberlanjutan ekonomi.
“Perda ini tidak bermaksud membatasi perokok, tetapi untuk menata area publik agar tertib dan sehat. Pemerintah dan DPRD berkomitmen mencari titik temu antara kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi,” ujar Sudiono.
Hal senada disampaikan Ketua DPRD Bojonegoro, Abdulah Umar, yang menegaskan bahwa Perda ini harus diterima masyarakat tanpa menimbulkan keresahan sosial.
“Prinsipnya, Perda ini bukan untuk melarang orang merokok, tapi untuk menata tempatnya. Di rumah sakit tentu dilarang, tapi di kafe atau tempat umum lainnya bisa disediakan ruang khusus merokok agar tertib,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa DPRD akan mempertimbangkan semua masukan dari pelaku usaha, petani, koperasi, dan serikat pekerja sebelum menetapkan perda.
“Kesehatan memang prioritas, tapi jangan sampai aturan ini menekan ekonomi rakyat. Kami akan memastikan kebijakan ini berpihak pada keseimbangan,” ujarnya.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bojonegoro, Moh. Subekti, turut menyampaikan dukungan agar penerapan KTR dilakukan secara bertahap dan bersifat pembinaan, bukan penindakan keras.
“Kami tidak menolak aturan, tapi jangan langsung disertai sanksi berat. Banyak pelaku usaha masih perlu penyesuaian. Sebaiknya pemerintah mendahulukan pembinaan, bukan langsung tindakan hukum,” ungkapnya.
Subekti juga meminta agar pelaku usaha dilibatkan dalam penyusunan petunjuk teknis agar tidak terjadi salah tafsir di lapangan.
“Kami ingin jadi mitra pemerintah, bukan korban regulasi,” tegasnya.
FGD Raperda Kawasan Tanpa Rokok ini memperlihatkan dinamika pandangan yang kuat antara kepentingan kesehatan masyarakat dan keberlangsungan ekonomi lokal.
Dari sisi pemerintah, regulasi ini dianggap penting untuk melindungi hak masyarakat atas lingkungan sehat. Namun, bagi pelaku usaha dan koperasi seperti H. Sutrisno, penerapan KTR harus memperhatikan dampak terhadap ribuan pekerja yang hidup dari industri tembakau.
Diskusi ditutup dengan kesepakatan untuk melanjutkan pembahasan secara lebih mendalam antara DPRD, Pemkab, pelaku usaha, dan masyarakat, agar kebijakan KTR yang akan ditetapkan benar-benar adil, realistis, dan berpihak pada rakyat Bojonegoro.



























































