News Bojonegoro — Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) DPRD Bojonegoro, Sudiyono, S.H., menegaskan bahwa pembentukan perda ini bukan untuk melarang aktivitas merokok, melainkan menata agar dilakukan di tempat yang tepat. Pernyataan itu disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Hotel dan Resto Griya MCM Bojonegoro, Kamis (6/11/2025).
Menurut Sudiyono, penyusunan Perda KTR merupakan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 151, yang mewajibkan setiap kabupaten/kota memiliki kawasan tanpa rokok.
“Daerah harus menindaklanjuti amanat undang-undang. Tujuannya bukan untuk mematikan pelaku usaha atau mengekang masyarakat, tapi menata agar aktivitas merokok tidak mengganggu orang lain, terutama di tempat umum,” jelasnya.
Ia memaparkan bahwa kawasan tanpa rokok yang dimaksud meliputi tempat umum, tempat kerja, tempat ibadah, fasilitas pendidikan, fasilitas pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, dan angkutan umum. Namun, DPRD memastikan perda ini tetap mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi lokal.
“Pansus ingin aturan ini proporsional. Tidak serta-merta melarang, tetapi menata agar di lokasi-lokasi tertentu disediakan ruang khusus bagi perokok. Kami tidak ingin aturan ini jadi alat untuk menekan pelaku usaha, tapi justru mengatur agar semua pihak terlindungi,” tambah Sudiyono.
Sudiyono juga menekankan bahwa penegakan perda ini nantinya tidak boleh bersifat represif. Ia berharap pemerintah daerah menerapkan sanksi secara bertahap dengan mengedepankan pendekatan pembinaan.
“Kita tidak ingin pelaku usaha atau masyarakat langsung disanksi tanpa sosialisasi. Prinsipnya, edukasi dulu, baru penegakan,” tegas anggota DPRD Bojonegoro dari Fraksi Gerindra itu.
Selain itu, ia menilai penting adanya sinergi antara DPRD, Pemkab, dan pihak terkait dalam menyiapkan sarana pendukung seperti ruang khusus merokok di tempat umum, hotel, restoran, dan fasilitas publik lainnya.
“Jangan sampai perda dibuat tanpa kesiapan di lapangan. Kita harus realistis dan melihat kondisi sosial masyarakat Bojonegoro yang sebagian besar masih memiliki budaya merokok,” imbuhnya.
FGD tersebut dihadiri sejumlah pihak, antara lain perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, Dinas Kesehatan, PHRI, SPSI, dan organisasi masyarakat. Acara dibuka oleh Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Joko Lukito, yang menjelaskan bahwa Bojonegoro menjadi satu-satunya kabupaten di Jawa Timur yang belum memiliki Perda Kawasan Tanpa Rokok.
“Kita tidak ingin mendapat sanksi dari pemerintah pusat karena belum memiliki perda ini. Tapi yang perlu ditegaskan, perda ini bukan pelarangan, hanya pengaturan agar tertib dan berimbang,” terang Joko.
Dari kalangan pelaku usaha, Ketua PHRI Bojonegoro Moh Subekti menyatakan dukungannya terhadap penataan kawasan tanpa rokok, namun meminta agar penerapannya tidak menjadi beban hukum bagi pelaku usaha.
“Kami siap menyediakan area tanpa rokok, tapi harapannya penegakan aturan dilakukan dengan pembinaan terlebih dahulu, bukan langsung sanksi,” ucapnya.
Ia juga mengingatkan agar setiap regulasi daerah memiliki batasan dan ruang interpretasi yang jelas agar tidak disalahgunakan di lapangan.
“Sering kali kesalahan administratif kecil justru dijadikan alasan penindakan. Jangan sampai perda yang baik malah menjerat dunia usaha,” tambah Subekti.
Sementara itu, Ketua SPSI Bojonegoro Anis Yulianti menyampaikan kekhawatiran atas potensi dampak ekonomi terhadap pekerja di industri rokok.
“Ribuan warga Bojonegoro menggantungkan hidup dari industri ini. Kebijakan seperti ini perlu dikaji agar tidak mengancam lapangan kerja,” ujarnya.
FGD berlangsung dinamis dan terbuka. DPRD Bojonegoro memastikan seluruh masukan dari berbagai pihak akan menjadi bahan pertimbangan sebelum Raperda KTR disahkan. Pansus menargetkan pembahasan selesai dan perda ditetapkan pada akhir Desember 2025.



























































