News Bojonegoro – Kasus dugaan keracunan massal akibat Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terus bertambah. Di Bojonegoro, keresahan wali murid semakin besar setelah serangkaian insiden serupa juga ramai terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Di SDN Semanding, tujuh siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan setelah menyantap menu MBG. Sementara di Kecamatan Kedungadem, kasus lebih besar terjadi pada Rabu (1/10/2025), ketika lebih dari 90 siswa sakit usai menyantap nasi kuning. Dari jumlah itu, 13 anak harus mendapat perawatan medis di puskesmas, dan delapan di antaranya dirawat inap.
Catatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebutkan hingga akhir September 2025, sedikitnya 157 kasus keracunan terkait MBG tercatat di Bojonegoro. Kondisi ini membuat sebagian orang tua mulai melarang anak-anak mereka mengonsumsi makanan dari program tersebut.
“Awalnya kami senang ada program ini, karena bisa menambah gizi anak. Tapi setelah banyak kasus keracunan, saya jadi takut. Saya sampai bilang ke anak, kalau ragu lebih baik jangan dimakan dulu,” tutur Siti Aminah, wali murid asal Kecamatan Kapas.
R.H., pemerhati keamanan pangan sekaligus praktisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), menilai kasus keracunan massal umumnya dipicu lemahnya pengendalian higienis, mulai dari bahan baku, proses memasak, hingga distribusi makanan.
“Dapur SPPG memegang peran kunci. Kalau standar kebersihan tidak ketat, risiko keracunan sangat besar karena makanan langsung dikonsumsi anak sekolah,” tegasnya.
Ia menyarankan penerapan enam langkah utama: seleksi bahan baku yang ketat, kebersihan dapur dan peralatan, proses memasak dengan suhu aman, distribusi cepat dan higienis, sertifikasi tenaga dapur, serta monitoring sampel makanan harian. Pemerintah daerah juga diharapkan memperkuat pengawasan dan pembinaan teknis, sementara sekolah serta orang tua diminta proaktif melaporkan keluhan siswa.
“Selain itu, tenaga masak, pengolah, dan distribusi makanan MBG juga wajib mendapatkan pelatihan serta sertifikasi resmi agar memahami prosedur standar keamanan pangan. Sertifikasi itu mencakup Food Security (Keamanan Pangan), Food Handler (Penjamah Makanan), K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja), serta Higiene dan Sanitasi Pangan,” lanjut RH.
Ia juga menambahkan, menurutnya, MBG adalah urusan langsung dengan tubuh manusia, jadi tidak boleh main-main.
“Hotel dan restoran saja diwajibkan memenuhi standar baku higienis, mengapa dapur SPPG yang melayani ribuan anak sekolah tidak ditetapkan standar yang sama? Jika tidak ada standar yang jelas, maka keracunan massal akan terus berulang.” pungkasnya.
Secara nasional, kasus keracunan MBG kini menjadi perhatian serius. Hingga awal Oktober 2025, lebih dari 9.000 siswa dilaporkan mengalami gejala keracunan di berbagai daerah. Sebagian besar mengalami sakit ringan hingga sedang, namun ada pula yang harus menjalani perawatan intensif.
Program MBG sejatinya ditujukan untuk meningkatkan gizi anak sekolah. Namun rentetan kasus keracunan massal menimbulkan pertanyaan serius soal pengawasan dapur penyedia, standar kebersihan, hingga distribusi. Evaluasi menyeluruh pun kini menjadi tuntutan agar program yang seharusnya menyehatkan, tidak justru membahayakan generasi muda.





























































